Ringkasan Buku Pajak Menurut Syariat



Book Summary
(Ringkasan Buku)
Pajak Menurut Syariah
Oleh: Gusfahmi, S.E.,M.A
Dosen pembimbing: Dr.K.A.Rahman,S.Ag.M.Pd.i
Perangkum
 soni afriansyah
(RSA1C115003)
PENDIDIKAN KIMIA PGMIPAU
PMIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2015/2016







BAB I
PAJAK INDONESIA

A.   Peranan Pajak dalam APBN
Sumber pendapatan negara terbesar di indonesia adalah pajak. Menurut data Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2010, peranan Penerimaan Perpajakan sudah mencapai 80% dari Penerimaan dalam Negeri.(Sumber:Data Pokok APBN 2005-2010, Kementrian Keuangan RI).
                                                                                
B.   Pajak Pusat, Pajak Daerah, dan Retribusi Daerah
Selain Pajak Pusat, masih ada 16 jenis pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang disebut dengan Pajak Daerah, sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mulai diberlakukan 1 januari 2010.
Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.[1]
Retribusi Daerah mencakup tiga objek yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu.[2]

C.   Rencana Pemerintah Menaikan Pajak
Pemerintah tampaknya akan terus menaikan target penerimaan pajak, dengan alasan Tax ratio[3]dan Coverage  Ratio masih rendah.

D.   Subjek Pajak Terbesar Adalah Kaum Muslim
Jika dilihat potensi pembayar pajak dari sisi kuantitas, kekuatan terbesar sesungguhnya ada pada kaum muslim, jumlahnya mencapai 88% dari total penduduk Indonesia.

E.   Pajak Belum diterima Sebagai Kewajiban Keagamaan
Rencana pemerintah untuk menjadikan pajak sebagai sumber penerimaan negara utama akan menemu kendala besar karena pajak belum diterima sebagai kewajiban keagamaan oleh mayoritas kaum muslim. Hal ini diindikasikan dengan minimnya WP Muslim yang mau secara sukarela mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP, minimnya WP(Wajib Pajak) muslim yang masuk dalam Daftar Pembayaran Pajak Terbesar di Indonesia dan rendahnya average Tax Ratio Negara-negara Muslim.



F.    WP Terbanyak Adalah Orang Pribadi
Suatu kesalahan jika kewajiban pajak dikaitkan dengan zakat, dimana zakat dapat dijadikan  sebagai pengurang penghasilan kena pajak atau langsung sebagai pengurang pajak. Tidak diketahuinya agama WP akan sulit mengidentifikasikan WP manakah yang boleh mengurangkan zakatnya sebagai pengurang penghasilan kena pajak atau sebagai pengurang pajak.

G.  Dualisme Pajak danZakat
Terjadinya dualisme dalam pemungutan dengan zakat(double taxs), dimana seseorang Wajib pajak juga seorang wajib zakat. Masalah pajak bagi Kaum Muslim Di Indonesia yaitu pemungutan pajak berganda atas penghasilan, yang dirasakan sebagai suatu beban yang berat.

H.  Pajak dan Kemiskinan
Jika penerimaan pajak meningkat, maka angka kemiskinan seharusnya menurun. Tapi yang justru terjadi yaitu  pajak  meningkat dan angka kemiskinan juga meningkat. Pajak yang seharusnya menjadi solusi kemiskinan, ternyata belum mampu menjadi pemindah kekayaan dari si kaya dan si miskin. Pajak baru hanya mampu menjadi sumber pendapatan negara semata, untuk mendanai berbagai kebutuhan pemerintah.

I.      Uang Pajak untuk Membayar Utang
Utang dalam sistem ekonomi islam adalah  sesuatu yang harus dihindari, karena ada kecenderungan terkena riba. Utang yang timbul dibayar melalui pajak.

J.     Belum Ada fatwa Halal tentang Pajak
Sampai hari ini belum ada fatwa dari MUI yang menyatakan bahwa pajak itu halal. Fatwa tentang pajak harus diminta oleh Menteri Keuangan.

K.  Kembali Kepada sistem Ekonomi Islam
Umat Islam mesti kembali kepada fitrahnya sebagai muslim, yang memiliki Al-Qur’an dan As-sunnah, sebagai pedoman dalam menangani persoalan ekonomi.











BAB II
SYARIAT

A.   Pengertian Syariat
Secara lughawi, syariat dapat berarti ‘’jalan yang lurus’’. Orang yang menjalankan syariat berarti ia berjalan di atas jalan yang benar(lurus).

B.   Definisi Syariat
Syariat adalah hukum/peraturan yang datang dari ALLAH SWT, baik melalui alQur’an, sunnah Nabi-nya, maupun ikutan dari keduanya berupa Ijma dan Qiyas.

C.   Ruang Lingkup Syariat
Pengertian Syariat  yang paling mudah dan paling banyak dipahami adalah islam terdiri atas Akidah,Syariah dan Akhlak. Syariah itu sendiri terbagi pula atas dua bagian, yaitu hukum Ibadah Mahdhah dan Mu’amalah. Ibadah  Mahdhah terdiri dari Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa ,Haji dan lain-lain. Sedangkan Mu’amalah terdiri atas aturan pada berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, pertahan, keamanan negara, sosial, budaya, dan politik.

D.   Hubungan Akidah, Syariat, dan Akhlak
Seseorang yang mengaku beriman pasti akan menjalankan syariat sebagai bukti keimananya dan orang yang mengaku muslim, pasti akan tunduk dan mau menjalani syariat sebagai konsekuensi dari syahadat yang diikrarkannya. Akidah, syariat dan akhlak dapat diibaratkan dengan sebatang pohon yang terdiri atas akar, batang/dahan, dan buah,  yang tumbuh secara menyeluruh.

E.   Karakteristik Syariat
Syariat memilki beberapa karakteristik, yang tidak dimiliki oleh aturan lain, yaitu[4]sumbernya adalahALLAH SWT, sanksinya bersiwat duniawi dan ukhrawi, universal yaitu berlaku umum untuk semua orang dan kompherensif  yaitu mengatur semua aspek kehidupan

F.    Hubungan Pajak dengan Syariat
Pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia  lainnya(mu’amalah), oleh sebab itu ia merupakan bagian dari syariat. Tanpa adanya rambu-rambu syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas rakyat.



BAB III
PENGERTIAN PAJAK MENURUT SYARIAT

A.   Pentingnya Pendefenisian Pajak
UU yang mendefinisikan pajak, yaitu UU nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa[5]: semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat ,termasuk Bea masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6]

B.   Tidak ada Definisi dalam UU Perpajakan lama
Tampaknya terkait dengan definisi pajak itu sendiri, dimana jika ia didefiniiskan, akan terlihatlah bahwa pajak itu sebenarnya hanya alat kepentingan penguasa[7]. Hal itu tidak dapat dipungkiri, sebab definisi pajak yang paling sering dijadikan rujukan adalah definisi yang menunjukan pemaksaan semata.

C.   Definisi Pajak dalam UU pajak Baru
UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan(KUP) yang mendefinisikan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU ,dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

D.   Tidak Didefinisikan Pajak adalah Suatu Kezaliman
Tidak didefinisikan pajak dalam perundang-undangan perpajakan di Indonesia(yang lama) adalah suatu hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip perundang-undangan secara umum. Jika pajak didefinisikan  oleh pemungut pajak, cenderung akan dibuat agar menguntungkan pemungutnya, yang bisa menjadi suatu kezaliman. Sebaliknya, jika, pajak didefinisikan oleh pembayarnya, cenderung akan dibuat untuk keuntungan pembayarnya. Jika hal ini terjadi, maka terjadi hukum rimba. Wajib pajak yang kuat, kaya dan berpengaruh akan berusaha menyembunyikan kekayaan, sementara yang lemah tidak akan mampu menghindar karena kelemahannya.

E.   Pajak sebagai Ibadah
Hukum pajak itu dibuat sesuai syariat, maka perbuatan memungut dan mendistribusikan  pajak tentu akan dapat bernilai ibadah bagi pemungutnya(fiskus) maupun bagi WP sebagai jihad harta.

F.    Kata Pajak dalam Al-Qur’an
Dari 74499 kata atau 325.345 suku kata yang terdapat dalam Al-Quran hanya satu kali saja kata “Pajak’’ ada dalam terjemahan Alqur’an yaitu pada surah At-Taubah Ayat ke 29. Pada ayat itu kata’’jizyah’’ diterjemahkan dengan ‘’pajak’’.

G.  Pengertian Pajak Menurut Syariat
Secara etimologi, pajak dalam bahasaarab disebut dengan istilah Dharibah, yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain. Akan tetapi, dalam kitab Al Ahkam al Sulthaniyah karya imam al mawardi , kharaj diterjemahkan dengan pajak, melainkan tetap disebut jizyah.

H.  Pajak(Dharibah) Bermakna Beban yang Berat
Dengan mengambil istilah dharibah sebagai padanan pajak dimaksudkan untuk menunjukan bahwa pajak itu sesungguhnya adalah beban tambahan yang ditimpakan kepada kaum Muslim setelah adanya beban Pertama, yaitu Zakat. Pajak tidak dapat diartikan kehinaan, rendah atau berkurang,  sebagaimana banyak dipahami, melainkan adalah sebuah beban tambahan sebagai bentuk amal saleh dan jihad mereka di jalan ALLAH karena adanya suatu kondisi khusus. Untuk membedakan pajak muslim dengan pajak kafir, Khalifah Umar bin kHatab ra. Pernah melarang pengenaan Kharaj kepada kaum Muslim, atas hasil tanah kharajiyah.  Beliau tetap memasukan hasil pembayaran  kharaj dari kaum muslim sebagai zakat karena  setiap pemberian seseorang muslim adalah sadaqah yang bermakna bersih dan suci.

I.      Definisi Pajak Menurut Syariat
Pajak adalah kewajiban yang datang secara temporer, diwajiibkan oleh Ulil Amri sebagai kewajiban tambahan sesudah zakat(jadi dharibah bukan zakat), karena kekosongan/ kekurangan Baitu Mal, dapat dihapuskan jika keadaan Baitul Mal Sudah terisi kembali, diwajibkan hanyakepada kaum muslim yang kaya, daan harus digunakan untuk kepentingan mereka, bukan kepentingan umum, sebagai bentuk jihad kaum muslim untuk mencegah datangnya bahaya besar jika hal itu tidak dilakukan.

J.     Kharakteristik Pajak(Dharibah) Menurut syariat

Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis , yaitu,[8]pajak (dharibah  bersifat temporer tidak bersifat kontinu, pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih, pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim dan tidak dipungut  dari non muslim, pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya, pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pem biayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih dan pajak (dharibah) dapat dihapus, bila  sudah tidak diperlukan.

BAB IV
SISTEM EKONOMI ISLAM

A.   Pengertian Ekonomi Islam
Perkataan ekonomi berasal dari bahasa yunani, yaitu ‘’oicos’’  ysng berarti ‘’rumah’’ dan ‘’nomos’’ yang berarti’’aturan’’. Maksudnya adalah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tanggga, baik tingkat rumah tangga rakyat maupun setingkat rumah tangga negara. Dan dalam bahasa arab disebut dengan iqtishad yang menurut heri sudarsono adalah menggunakan rezeki yang ada disekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia yang baik dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya.
                                                        
B.   Perbedaan Sistem Ekonomi dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi dan sistem ekonomi masing-masing membahas masalah ekonomi, akan tetapi sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda sama sekali.[9]Ilmu ekonomi adalah kegiatan mengatur urusan menghasilkan dan memperbanyak harta kekayaan, sedangkan sistem ekonomi membahas tata cara mendistribusikan barang dan jasa yang sudah dihasilkan itu,agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

C.   Keterkaitan Sistem Ekonomi dengan Akidah Pelakunya
Ilmu ekonomi tugasnya hanya mengkaji efek-efek yang ditimbulkan, apabila sebuah sistem ekonomi benar-benar telah diterapkan di masyarakat. Hukum permintaan berbunyi ‘’ apabila harga naik maka permintaan pasti akan turun’’. Hukum permintaan akan sama dalam situasi bagaimanapun dan dimanapun juga. Sedangkan sistem ekonomi tugasnya adalah memperkenalkan dan mengembangkan serta menerapkan suatu sistem kepada masyarakat yang akan sangat dipengaruhi oleh pemahaman seseorang pelakunya. Oleh karena itu, sistem ekonomi islam tentu akan berbeda dengan sistem ekonomi sosialis atau kapitalis.

D.   Sejarah Sistem Ekonomi Islam
Persoalan ekonomi itu sudah dimulai sejak manusia dihadirkan kepermukaan bumi. Pada hakikatnya, tidak satu makhluk pun, termasuk binatang melata, tidak mempunyai rezeki, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana meraih rezeki yang sudah disediakan itu dan bagaimana cara mendistribusikannya. Dengan sistem yang tepat, rezeki yang sudah ada itu tentu akan mencukupi kebutuhan seluruh mahkluk. Munculnya teori ekonomi yang terjadi pada waktu-waktu tertentu.
                                                                                   
E.   Sejarah Perkembangan Sistem Ekonomi Kapitalisme
Di negara-negara barat, sistem ekonomi sebenarnya merupakan sistem yang relatif muda, karena baru mulai mempelajari pada akhir abad ke-18 yaitu tahun 1776 , ketika buku Adam smith (1723-1790) yang berjudul the wealth of nations.[10]Smith berpendapat bahwa kebebasan dalam berkompetisi merupakan faktor pendukung dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.[11]Pasar akan diatur oleh tangan-tangan yang tidak terlihat.[12]John Maynard Keynes tampil sebagai pembaharu ekonomi yang menyatakan ‘’intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam kehidupan ekonomi sebagai langkah politis dalam mewujudkan stabilitas kegiatan ekonomi.

F.    Sejarah Perkembangan  Sistem Ekonomi Sosialisme
Sosialisme berkembang pada abad ke-19, dimana orang-orang sosialis mati-matian memerangi pandangan aliran kapitalis yang memakai sistem liberalis. Aliran ini disebut sistem ekonomi sosialis. Munculnya sosialisme ini adalah akibat kezhaliman yang diderita oleh masyarakat karena sistem ekonomi kapitalis serta berbagai kekeliruan yang terjadi didalamnya. Mereka melihat bahwa kezhaliman ini terjadi karena tidak meratanya kepemilikan individu diantaranya manusia. Oleh karena itu, mereka berpendapat perlunya persamaan secara riil dalam kepemilikan.

G.  Distribusi Adalah Pokok Persoalan Ekonomi Menurut Islam     
Kebutuhan manusia telah diciptakan oleh ALLAH SWT. Seluruhnya, sehingga manusia tidak perlu lagi khawatir tidak akan memperoleh bagian (rezeki). Namun pada kenyataan, masih ada yang tidak mendapat bagian. Inilah yang dikatakan masalah ekonomi dan menjadi penyebab munculnya sistem ekonomi. Kenapa terjadi kemiskinan, apakah sumber daya (barang dan jasa) tidak cukup, atau cara distribusinya yang tidak benar. Pendapat demikian adalah keliru . menurut sistem ekonomi islam inti masalah ekonomi bukanlah kekurangan reproduksi, melainkan adalah masalah distribusi .

H.  Zakat dan Pajak Adalah Sistem Distribusi
Kajian tentang zakat dan pajak sebagai sistem distribusi, memperoleh porsi yang besar dalam sistem ekonomi islam. Sedemikian pentingnya, sehingga zakat ditempatkan sebagai rukun islam yang ketiga, sesudah shalat, mendahului kewajiban puasa dan haji. Sistim ekonomi non-muslim yakin bahwa inti persoalan ekonmi adalah masalah produksi. Sedangkan sistem ekonomi islam menyakini bahwa masalah ekonomi adalah distribusi. Kedua sistem ekonomi ini pernah menguasai dunia,namun data dan fakta membuktikan bahwa sistem ekonomi non-islam tidak pernah membuat dunia sejahtera merata. Justru yang terjadi adalah penumpukan kekayaan yang sangat berlebihan di suatu belahan dunia dan kemelaratan yang amat parah di belahan dunia yang lain.

BAB V
PENDAPATAN DAN PENGELUARAN NEGARA DIMASA PEMERINTAHAN RASULULLAH SAW. HINGGA PASKA KHULAFAURRASYIDIN

A.   Pendapatan Negara di Masa Pemerintahan Muhammad Saw.
Rasulullah Saw tidak mendapat gaji sedikit pun dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa bahan makanan situasi mulai berubah, setelah turunnya surat Al-Anfal(Rampasan Perang).
 Pada masa Rasulullah  juga sudah terdapat jizyah, yaitu pajak kepala yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer.  Besarnya jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya.[13]
Pada masa pemerintahan Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal yaitu, benda logam yang terbuat dari emas dan perak, binatang ternak, berbagai jenis barang dagangan, hasil pertanian, Luqatah(harta benda yang ditinggalkan musuh) dan barang temuan. Terdapat beberapa pendapatan lainnya, yang bersifat tambahan(sekunder). Pendapatan sekunder tersebut adalah uang tebusan, pinjam-pinjaman, khumus, amwal fadla, waqaf, nawaib, zakat fitrah dan bentuk lain sedekah.
Pendapatan primer adalah pendapatan wajib yang harus dikeluarkan oleh kaum muslimin dan non muslimin, sedangkan pendapatan sekunder diperoleh tergantung situasi dan kondisi yang ada.

B.     Baitul Mal Sebagai Kas Negara.
Untuk mengelola sumber penerimaan negara dan sumber pengeluaran negara maka Rasulullah menyerahkan kepada Baitul Mal. Pada masa rasulullah Saw, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang di peroleh belum begitu banyak dan tentunya belum mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolanya.

C.   Pengeluaran Negara di Masa Pemerintahan Rasulullah Saw.
Dasar- dasar kebijaksanaan fiskal menyangkut penentuan subjek dan objek kewajiban membayar kharaj, zakat, ushr, jizyah, dan kaffarat, termasuk penentuan batas minimal terkena kewajiban, umur objek terkena kewajiban, dan tarifnya. Begitulah Rasulullah meletakan dasar-dasar kebijaksanaan fiskal yang berlandaskan keadilan sejak masa awal pemerintahan islam. Setelah rasulullah wafat maka kebijaksanaan fiskal itu dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh penerusnya.[14]

D.   Pendapatan dan Pengeluaran Negara Masa Pemerintahan Khulafaurrasyidin
Ketika terdengar wafatnya Rasulullah Saw, banyak suku-suku arab yang meningggalkan islam dan menolak membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan pasukannya untuk menyerang suku-suku itu. Ketetapn Khalifah Abu Bakar ash- Shidiq untuk memantapkan Pelaksanaan zakat ialah dengan mengategorikan merek sebagai orang murtad.[15]Pada tahun kekhalifahannya(12H), Abu bBAKr merintis embrio Baitu Mal dalam arti yang lebih luas. Baitu Mal bukan sekedar berarti pihak yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu  tempat untuk menyimpan harta negara.
Selanjutnya di zaman Umar Bin Khatab, zakat masih tetap merupakan sumber pendapatan utama negara islam. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Semua surplus  pendapatan dalam jumlah-jumlah tertentu harus diserahkan kepada negara, kemudian dana itu dikelola sedemikian sehingga tak seorang pun yang memerlukan bantuan, sampai-sampai merasa malu untuk mendapatkan sumbangan. Hal ini berkaitan dengan orang yang tak mau bayar zakat sehingga orang itu dapat didenda sebesar 50% dari jumlah kekayaanya.[16]
Pada masa pemerintahan Umar, banyak sekali dilakukan berbagai reformasi kebijakan, khususnya di bidang ekonomi, yaitu, kepemilikan tanah, menetapkan objek zakat tambahan, ‘ushr , dan mata uang.
Pada  masa pemerintahan usman bin affan pembangunan sektor pertaniaannya pesat dan berhasil membentuk armada laut ksum muslimin dibawah komando muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya diwilayah Mediterania.
Pada masa pemerintahan Usman, Ali banyak mengkritik kebijakannya yang dinilai terlalu memerhatikan kepentingan keluarganya atau nepotisme. Setelah menjadi khalifah, ali bin abi thalib menempatkan kembali kondisi Baitul Mal ditempat pada posisi sebelumnya. Antara lain memecat beberapa pejabat yang diangkat usman, mengambil tanah yang dibagikan usman kepada keluarganya tanpa alasan yang benar, memberikan bantuan kepada kaum muslimin berupa tunjangan yang diambil dari Baitul Mal, mengatur kembali tata  laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, serta memindahkan pusat pemerintah ke kufah dari madinah.

E.   Kebijaksaan Fiskal di Masa Pemerintahan Pasca Khulafaurrasyidin  
Ketika Dunia Islam berada dibawah kepemimpinan Khalifah bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Baitul berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.
Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya khalifah ke-8 bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Azis. Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.
Dalam melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin Abdul Azis melindungi dan meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghapus pajak terhadap kaum muslim, membuat takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa, dan lain-lain. Bani abbasiyah meraih tampuk kekuasaan islam setelah berhasil menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah pada tahun 750 masehi sebagai puncak kejyaan Dinasti abbasiyah adalah tatkala dipimpin Khalifah harun-al rasyid(170-1930 H) yang sangat memperhatikan masalah perpajakan. Setelah dinasti abbasiyah runtuh , muncul daulah turki usmani di turki dibawah khalifah usman, kebijakannya antara lain, tetap memfungsikan Baitu mal sebagai kantor Perbendaharaan, dengan berbagai pendapatan. Pada 1924 M, daulah turki  Usmani runtuh dan sekaligus menandai berakhirnya era kekhalifahan dalam islam.





BAB VI
SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA MENURUT ISLAM

A.   Klasifikasi Pendapatan Negara
Ibnu taimiyah mengklasifikasikan seluruh sumber pendapatan negara mempertimbangkan asal-usul dari sumber pendapatan serta tujuan pengeluarannya. Seluruh sumber pendapatan di luar ghanimah dan sedekah, berada dibawah nama fay’i. Pendapatan resmi negara, yang terangkum dalam kesatuan nama fay’I, terdiri dari jizyah, kharaj,ush-bea cukai. Sedangkan pendapatan tidak resmi negara yang terdiri dari ghanimah dan sedeqah.

B.   Ghanimah
1.      Pengertian Ghanimah
Menurut sa’id hawa ghanimah adalah harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh melalui peperangan dan kekerasan dengan mengerahkan pasukan, kuda-kuda dan unta perang yang memunculkan rasa takut dalam hati kaum musrikin.
2.      Subjek Ghanimah
Subjek dari Ghanimah ini jelas adalah kaum kafir, yang diperangi oleh pasukan muslim secara kemiliteran, yang berada di daerahdar al-harb.
3.      Objek Ghanimah
Bentuknya bisa barang bergerak seperti barang perhiasan serta persenjataan yang dirampas dari tangan mereka. Ada juga binatang ternak seperti onta, dan ada juga harta tak  bergerak seperti tanah.
4.      Dasar pengenaan dan tarif Ghanimah
Karena diperoleh dengan peperangandan kekerasan, maka Ghanimah tidak ada dasar pengenaan dan tarif layaknya pendapatan yang lain.
5.      Tujuan penggunaan Ghanimah
Adapun dalam pendistibusiannya Ghanimah hanya untuk kepentingan kaum muslimin. Seperlima dari seluruh Ghanimah diperuntukkan bagi pembelajaan negara 

C.   Sedekah
1.      Pengertian Sedekah
Menurut ibnu taimiyah, yang dimaksud dengan sedekah adalah zakat yang dikenakan atasharta kekayaan  muslim tertentu.
2.      Sedekah dalam pengertian pemberian sunnah(shadaQah Tathawwu’)
Makna sedekah disini, yaitu pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima sedekah, tanpa disertai imbalan.
3.      Sedekah dalam pengertian Zakat
Pada ayat QS Al-Thaubah ayat 60 , as shadaqat diartikan sebagai zakat , karena pada ujung ayat terdapat ungkapan faridhatan minallah , sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan allah.
4.      Sedekah dalam Pengertian sesuatu yang Ma’ruf (Benar dalam Pandanga syara’)
Menurut al-jurjani sedekah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari allah swt. Dan masih banyak lagi imam-imam dan ahli dalam islam yang mengungkapkan pengertian sedekah akan tetapi an-nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan ‘’ pada dasarnya suatu kata harus diartikan secara hakiki(makna aslinya).’’

D.   Infaq
Menurut istilah infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Infaq tidak mengenal nisab. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infaq.

E.   Zakat
1.      Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa berarti berkembang. Adapun menurut syara’ , zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu.
2.      Subjek zakat
a.       Muslim
Zakat menurut hadis, termasuk rukun rukun islam. Oleh sebab itu, subjeknya pastilah umat islam.
b.      Orang Kaya
Pemungutan zakat dilakukan dari orang kaya dan pelaksanaanya mutlak ditangani oleh pemerintah melalui satu lembaga khusus yang memiliki sistem manajemen yang fungsional dan professional.
3.      Objek Zakat
Objek zakat adalah harta. Zakat sebagai pembayaran tahunan kecuali atas hasil pertanian, diwajibkan bagi kaum muslim yang kaya atas kekayaan mereka. Akan tetapi jika harta tersebut telah melampaui batas nilai minimum tertentu (nisab).
4.      Dasar pengenaan dan tarif Zakat
Menurut an-nabhani, harta zakat adalah salah satu jenis harta Baitul Mal. Namun zakat itu berbeda dari jenis harta yang lain dari segi perolehannya dan dari segi pembelajaannya.
5.      Tujuan Penggunaan zakat
Selain untuk ashnaf yang delapan, sama sekali tidak boleh diberi zakat, termasuk tidak boleh di berikan untuk urusan perekonomian negara.
6.      Sanksi bagi pelanggar zakat.
Nabi Muhammad Saw bersabda ‘’ orang kaya yang tidak mau membayar utang dihalalkan mencela kehormatannya dan menghukumnya.’’ Jika hukuman tidak ditentukan oleh syara’,maka ditetapkan dengan ta’zir yang diitjihadkan oleh pemimpin.

F.    ‘Ushr
1.      Pengertian ‘Ushr
Sepersepuluh(’ushr) memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambi dari pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang dagangan.
2.      Subjek ‘Ushr
Ushr diwajibkan hanya ketika ada hasil yang nyata , tanahnya adalah tanah ‘ushr dan pemiliknya adalah orang islam. Pemilik mungkin adalah orang dewasa atau anak-anak, laki-laki atau seseorang perempuan,seorang budak, atau suatu instansi, namun’ushr harus dibayar.
3.      Objek ‘ushr
Untuk kepentingan penentuan ‘ushr ahli hukum menggolongkan hasil pertanian dalam dua kategori:pertama, hasil pertanian sayuran dan jagung yang kedua, kebun menghasilkan seperti buah-buahan, madu, dan lain-lain.
4.      Dasar pengenaan dan tarif ‘ushr
Menurut rasulullah saw,.’ushr diwajibkan sebanyak sepersepuluh dari hasil tanah yang diairi oleh sumber alami seperti hujan, mata air atau arus.
5.      Saat ‘ushr terutang
‘Ushr atas hasil pertanian dibayar pada saat panen, manakala tanaman dituai atau atau buah-buahan.


6.      Tujuan penggunaan ‘ushr
‘Ushr termasuk kedalam kelompok sedekah, yang juga termasuk penerimaan negara tidak penuh yang penggunaannya adalah untuk kelompok yang sudah ditentukan oleh allah swt.

G.  Fay’i
Fay’i berarti mengembalikan sesuatu. Dalam terminologi hukum fay'i menunjukan seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa peperangan. Harta fay’i untuk pendapatan kesejahteraan publik.

H.  Jizyah
1.      Pengertian Jizyah
Istilah jizyah berasal dari kata jaza’ yang berarti kompensasi. Dan menurut definisi lain bahwa jizyah adalah kewajiban keuangan atas penduduk non muslim dinegara islam sebagai pengganti biaya perlindungan atas hidup dan properti dan kebebasan untuk menjalani agama mereka masing-masing.
2.      Subjek Jizyah
Jizyah tersebut dikenakan atas diri setiap orang kafir, bukan atas harta mereka ,jizyah juga tidak gugur dari mereka, sekalipun mereka ikut terlibat dalam peperangan .
3.      Objek jizyah
Objek dari jizyah ini adalah jiwa kaum kafir karena kekafiraannya. Oleh sebab itu, ia tidak dikenakan terhadap kaum muslimin .
4.      Dasar pengenaan jizyah
Ada dua sebab yang pertama para pembayar jizyah bisa menikmati fasilitas-fasilitas umum bersama kaum muslimin, seperti pengadialan, kepolisian,dan lain-lainnya. Kedua orang-orang yang mampu dari kalangan ahli kitab tidak diwajibkan untuk mengangkat senjata dan membela tanah air.
5.      Tarif jizyah
Jizyah pertama-tama ditetapkan oleh nabi muhammad saw, yang jumlahnya tidak ditetapkan. Akan tetapi, menetapkan jumlah atas kategori masyarakat yang berbeda-beda sesuai dengan prinsip umum dan keadilan yang harus ditaati.
6.      Tujuan penggunaan jizyah
Jizyah termasuk fay’i,  didistribusikan untuk kepentingan kaum muslimin  seluruhnya, baik yang ikut berperang ataupun yang tidak.
7.      Hak-hak bagi pembayar jizyah
Bagi orang yang membayar jizyah akan mendapatkan dua hak. Pertama, tidak boleh diperangi agar mereka tidak akan merasa takut. Kedua, berhak untuk mendapatkan perlindungan sehingga mereka menjadi orang-orang yang nyaman.




I.      Kharaj
1.      Pengertian kharaj
Dalam terminologi islam, kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah , di mana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada negara islam.
2.      Subjek kharaj
Kharaj dikenakan atas orang-orang dan juga muslim. Apabila orang kafir yang mengelola tanah kharaj masuk islam, maka ia tetap dikenai kharaj sebagaimana keadaan sebelumnya.
3.      Objek kharaj
Kharaj dikenakan pada tanah dan hasil tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas apakah si pemilik itu seorang yang dibawa umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun non muslim.
4.      Dasar pengenaan kharaj dan tarif kharaj
Kharaj secara proporsional artinya dikenakan sebagai bagian total dari hasil produksi pertanian, misalnya seperlima,seperempat dan sebagainya. Dengan kata lain, kharaj proporsional tidak tergantung pada hasil dan harga setiap hasil pertanian.
5.      Tujuan penggunaan kharaj
Kharaj ini termasuk fay’i karena tidak dibagikan kepada orang-orang yang ikut berperang, tetapi justru tanah ini ditahan untuk tarik kharaj yang didistribusikan untuk kepentingan seluruh kaum muslimin dalam setiap masa.

J.     Bea cukai
1.      Pengertian bea cukai
Sepersepuluh(’ushratau bea cukai) memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil dari pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang dagangan.
2.      Subjek bea cukai
Bea cukai dibebankan atas pedagang untuk mengimbangi beban yang sama yang  dipungut dari pedagang muslim dinegara asing.
3.      Objek bea cukai
Objek pengenaan bea cukai ini adalah nilai barang dagangan yang melintasi wilayah batas negara islam dengan darul harb.
4.      Dasar pengenaan dan tarif bea cukai
Selain untuk menutupi kerugian negara akibat pemungutan yang dilakukan oleh negara kafir, pemanfaatan institusi-institusi umum seperti kepolisian dan lain-lainnya, dimana institusi ini dibiayai dari Baitul Mal, menjadi dasar pemungutan bea cukai terhadap orang kafir.
5.      Tujuan penggunaan bea cukai
Karena termasuk pendapatan penuh negara, yang dikelompokkan kedalam fay’i maka bea cukai dapat digunakan untuk kepentingan umum negara secara luas. Ia dapat digunakan untuk kepentingan kaum muslim dan non-muslim.




K.  Pajak atas pertambangan dan harta karun
Bila suatu tambang yang padat dan dapat dilebur, mengandung emas, perak, besi, dan sebagainya, harta karun ditemukan di tanah kaum muslimin, seperlima dari hasilnya  harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial.

L.   Waqaf
Waqaf secara harfiah berarti berhenti,menahan atau diam. Secara administratif, waqaf dikelola oleh nadzir yang merupakan pengemban amanah yang memberi waqaf. Beberapa ahli berpendapat bahwa termasuk sedekah jariyah salah satunya harta yang diwaqafkan.

M.Beban-beban lain(pajak-pajak lain)
Ada sejumlah pajak yang dihapuskan pada masa khalifah umar II seperti beban atas pabrik, hadiah yang diberikan menjelang perayaan persia nauroz dan mahrajan, bebas militer, pajak rumah dan beban yang dipungut dari penjaja seks.


BAB VII
PRINSIP-PRINSIP PENDAPATAN DAN PENGELUARANA NEGARA MENURUT SISTEM EKONOMI ISLAM
A.               Pengertian Kebijaksanaan Fiskal
              Kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang keuangan, meliputi penerimaan negara, pengeluaran negara dan utang negara. Akan tetapi yang sering dibahas yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN).

B.Prinsip pendapatan negara menurut sistem ekonomi islam
                   Dalam sistem ekonomi islam ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh ulil amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu sebagai berikut:
1.      Harus ada nash yang memerintahkannya
        Setiap pendapatan dalam negara islam harus diperoleh sesuai dengan hukum syara’ dan juga disalurkan sesuai dengan hukum-hukum syara. Selain harta yang telah difardukan oleh allah swt, sebagai pendapatan, harta lain secara mutlak tidak boleh diambil. Sebab tidak boleh sedikit pun mengambil harta seorang muslim, selain dengan cara yang hak menurut syara’ yang telah ditentukan dalil-dalil syara’  yang rinci.



2.      Harus ada pemisahan muslim dan non-muslim
        Islam membedakan antara subjek zakat dan pajak muslim dengan non muslim. Zakat hanya bersumber dari kaum muslim sedangkan jizyah hanya bersumber dari kaum non muslim
3.      Hanya golongan kaya yang menanggung beban
        Prinsip kebijakan pemasukan menjamin bahwa hanya golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihan yang memikul beban utama.
4.      Adanya tuntutan kemaslahan umum
        Yang mesti didahulukan untuk mencegah kemudharatan yaitu kemaslahatan umum.  Dalam keadaan darurat, ulil amri wajib mengadakan kebutuhan rakyat, di saat ada atau tidaknya harta.

C.               Prinsip pengeluaran negara menurut sistem ekonomi islam
Beberapa prinsip yang harus ditaati ulil amri, yakni sebagai berikut:
1.      Tujuan penggunaan pengeluaran keakayaan negara telah ditetapkan langsung oleh allah swt.
            Allah menentukan tujuan penggunaan dari pendapat zakat yaitu asnaf yang delapan.
2.      Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungut
            Kebutuhan, secara umum dapat dibagi dua kebutuhan Negara dan kebutuhan individu. Kebutuhan Negara adalah kebutuhan yang difardhukan kepada Negara, dimana Negara wajib mengadakannya melalui sumber sumber-sumber pendapatan tetap.  Pendapatan ini digunakan untuk kepentingan Negara dan hal-hal yang menjadi tanggungan Negara. Sedangkan kebutuhan individu adalah kebutuhan yang pengadaanya difardhukan kepada kaum muslimin seperti makanan, pakaian, adan tempat tinggal.
            Dalam keadaan darurat dan terjadi kekosongan, khalifah berhak untuk mengambil harta individu, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan.yang tidak terpenuhi oleh kas Negara, lalu dipungutlah pajak.
3.      Adanya pemisahan antara pengeluaran yang wajib diadakan di saat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang wajib diadakan hanya disaat adanya harta
            Menurut nabhani, tidak semua jenis pengeluaran harus diadakan, melainkan tergantung sifat masing-masing pengeluaran itu. Ada pengeluaran yang wajib diadakan, walaupun tidak ada dana yang tersedia di baitu mal, sehingga khalifah harus meminjam atau memungut pajak. Sebaliknya, ada pengeluaran yang hanya diadakan bila dana itu ada, seperti zakat. Berikut contoh-contoh yang dimaksud.
a)      Pengeluaran zakat hanya di saat adanya harta zakat
      Apabila harta dari zakat ada, maka pembelanjaanya disalurkan kepada objek-objeknya, yaitu asnaf yang kedelapan. Apabila harta tersebut tidak ada, maka pemilikan orang yang berhak mendapatkan bagian atas harta tersebut telah gugur.
b)      Pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan atau mendanai jihad adalah disaat ada maupun tidak adanya harta
      Apabila harta ada, maka seketika itu wajib dikeluarkan. Bila tidak harta, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan karena pembelanjaannya ditangguhkan, maka negara bisa meminjam, untuk disalurkan seketika itu juga, berapapun hasil pengumpulannya dari kaum muslimin.
c)      Pengeluaran untuk kompensasi, harus dibayar di saat ada maupun tidak adanya harta
      Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar negara untuk kompensasi atau hak orang-orang yang telah memberikan jasanya, lalu mereka meminta harta sebagai upah atas jasanya.
d)     Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan untuk kompensasi adalah di saat ada maupun tidak adanya harta
      Pembelanjaan kelompok ini diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah dihasilkan.
e)      Pembelanjaan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi.
      Contohnya adalah pembuatan jalan baru, ketika jalan lain sudah ada, membuka rumah sakit baru yang sebenarnya sudah cukup dengan rumah sakit yang ada, dan sebagainya.
f)        Pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan(darurat),  semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin seperti paceklik,angin taufan,gempa bumi, atau serangan musuh.
      Apabila dikhawatirkan akan terjadi penderitaan, karena pembelanjaan ditunda hingga terkumpul semuanya, maka negara wajib meminjam harta yang paten dulu , lalu negara meletakannya diBaitul Mal, dan pada saat itu juga disalurakan kepada yang berhak.
4.Pengeluaran harus hemat
                  Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang lebih jelas bermanfaat dan hemat, tidak boros, dan islam mengutuk pemborosan. Penimbunan juga dikutuk karena dengan penimbunan itu, kekayaan tak dapat beredar dan bermanfaat penggunaannya, tidak dapat dinikmati si pemakai ataupun masyarakat.

D.               Utang negara menurut sistem ekonomi islam
      Ada yang berpendapat bahwa negara isalm tidak seharusnya melakukan pembiayaan defisit, karena hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan pemerintah berutang dengan konsekuensi membayar bunga, mendekati riba. Pengeluaran yang bertambah ini juga dapat menyebabkan pemborosan.
E.Kebijaksanaan fiskal pada pemerintahan islam periode awal
      Kebijaksanaan fiskal pada periode pemerintahan rasulullah saw. Anggaran negara masih sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Negara memakai prinsip anggaran berimbang. Dasar penyusunan anggaran adalah berapa penghasilan yang yang diterimalah yang menentukan jumlah yang tersedia untuk dibelanjakan. Kecuali dalam keadaan darurat karena perang atau bencana alam lainnya, untuk ini dikenakan pungutan khusus atau sumbangan.

F.Kebijaksanaan fiskal pada pemerintahan islam periode modern
      Sistem anggaran modern adalah anggaran yang berorientasi pada pertumbuhan, konsekuensinya negara-negara muslim harus menganut prinsip anggaran defisit. Untuk menutup defisit itu ada tiga jalan, pertama denagn pinjaman yang dilakukan secara islami, kedua penguasaan sebagian milik umum, dan ketiga dengan menerapkan pajak.
                             


BAB VIII
PENDAPAT ULAMA TENTANG PAJAK

A.   Pendapat yang meyatakan bahwa tidak ada kewajiban lain atas harta selain  zakat
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Barang siapa telah berzakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dia pun tidak punya kewajiban lagi, bila zakat telah ditunaikan, kecuali bila dia hendak bersedekah sunnah, karena mengharap pahala yang lebih besar dari allah swt.

B.   Pendapat yang menyatakan bahwa ada kewajiban lain atas harta kaum muslim selain zakat
Ada kaum muslim lain sejak zaman sahabat sampai masa tabi’in yang berpendapat, bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain  selain zakat. Pendapat tersebut datang dari umar, ali, abu dzar, dan lain-lain. Salah satu contohnya pendapat dari abu zahrah, yang berpendapat bahwa mendermakan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan musafir, itu wajib hukumnya selain zakat.



C.   Pendapat ulama tentang adanya kewajiban lain atas harta selain zakat
Semua pendapat dari para ahli fikih yang menegaskan bahwa tak ada hak lain di luar zakat, ternyata mereka sengaja menolaknya, karena khawatir pungutan tersebut hanyalah alat untuk keuntungan dari mereka sendiri dan pendukungnya. Hal itu merupakan beban berat bagi rakyatnya. Para ulama takut kalau-kalau pemerintah yang zalim menjadikan kata-kata ulama itu sebagai dalih untuk mewajibkan pungutan dan pajak-pajak yang memberatkan tanpa hak. Oleh karena itu,  para ulama menutup pintu rapat-rapat dan memotong jalan mereka dengan kata-katanya:’’ tidak ada hak dalam harta di luar zakat”.

D.   Jalan tengah dari kedua pendapat
Qhardawi mengatakan bahwa kedua pendapat itu sebenarnya terdapat titik persamaan yang sama-sama mereka setujui antara lain, bahwa ada hak orang tua yang membutuhkan, pada dasarnya kerabat punya hak atas nafkah kerabatnya yang lain yang mampu, dan adanya hak atas orang yang dalam keadaan terpaksa harus memperoleh makanan, pakaian atau tempat tinggal. Para ulama tidak menentang bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan, maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak.

E.   Ulama yang berpendapat bahwa pajak itu boleh
Sejumlah fuqaha yang menyatkan bahwa pemungutan pajak itu diperbolehkan antara lain, abu yusuf dalam kitabnya al-kharaj, ibnu khaldun dalam kitabnya muqaddimah, maghinani dalam kitabnya al-hidayah, dan lain lain.

F.    Ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram
Disamping sejumlah fuqaha yang menyatakan pajak itu boleh di pungut, sebagian lagi mempertanyakan hak negara untuk meningkatkan sumber-sumber daya melalui pajak, disamping zakat, antara lain DR. Hasan Turobi dari sudan, dalam bukunya principle of governance , freedom, and responsibility in islam.

G.  Alasan-alasan  ulama membolehkan pajak
Karena menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana seperti keamanan, pendidikan dan lain-lain. Selain itu anggaran belanja negara saat ini sangat besar, setelah meluasnya tanggung jawab(ulil amri-pen) dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi.
H.  Pajak dibolehkan karena alasan kemaslahatan umat
Pajak memang merupakan kewajiban warga negara dalam sebuah negara islam, tetapi negara berkewajiban pula untuk memenihi kondisi (syarat) seperti penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak serta pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayaranya.  Para ulama dan ekonomi islam membolehkan pajak karena adanya kondisi tertentu, dan juga syarat tertentu, misalnya harus adil, merata, tidak membebani rakyat, dan lain-lain.



BAB IX
LANDASAN TEORI PAJAK MENURUT SYARIAT DAN PERBEDAANNYA DENGAN PAJAK NON ISLAM
A.   Landasan teori pajak non-islam
Secara garis besar pendapat mereka dapat dikelompokkan menjadi dua landasan teori, yaitu: teori kekuasaan dan teori perjanjian.
1.      Teori kekuasaan(pajak sebagai upeti)
Menurut teori ini, rakyat membayar pajak kepada penguasa semata-mata karena kekuasaan penguasa. Dalam kondisi seperti ini, pajak bermakna upeti atau persembahan kepada raja. Negara dengan pajak upeti seperti ini adalah Negara yang sepenuhnya tunduj pada kepentingan penguasa.
Ketundukkan rakyat kepada raja harus ditunjukkan secara materil berupa pajak, dengan dua alas an. Pertama, alasan teologis bahwa raja adalah titisan tuhan yang hadir atas penujukan langsung oleh tuhan dan bertindak untuk kepentingan-kepentingan tuhan. Kedua, alas an materiil bahwa rakyat hidup dari hasil bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang adalah milik raja atau ada dalam kekuasaanya.
2.      Teori perjanjian
Pada filsuf di aba ke-19 berpendapat bahwa pajak itu diwajibkan adalah atas dasar  adanya hubungan timbal balik Negara dengan anggota masyarakat. Para pendukung teori ini memandang bahwa pajak itu dibayar sebagai imbalan jasa yang diperoleh pemilik harta berupa perlindungan atas segala kepentingan umum, dengan mewajibkan mengadakan perjanjian perlindungan wajib antara Negara dengan warganya.
Menurut masdar, Negara dalam teori pajak perjanjian ini juga keliru, karena secara spiritual telah mempersekutukan tuhan dengan raja, dan secara moral juga cacat karena telah membelokkan Negara menjadi alat penguasa. Dengan teori ini, Negara mendefinisikan dirinya sebagai penjual jasa kepada para pembayar pajak. Teori ini sepintas terasa wajar dan rasional, namun sebenarnya negar telah mengakui atau melanggengkan ketimpangan sosial. Kalangan kaya yang membayar pajak besar nantinya akan merasa berhak mendapatkan imbalan jasa kenegaraan yang besar, sementara kalangan lain yang membayar pajak kecil harus puas dengan jasa kenegaraan yang kecil. Lebih ironis, rakyat miskin yang tidak mampu membayar pajak karena kemiskinannya harus terima nasib untuk tidak diperdulikan oleh Negara kecuali sekedar tetesan berkah dari kedermawaan orang kaya belaka.
Inilah landasan teori pajak yang tidak bersumber kepada syariat, dimana Indonesia termasuk didalamnya. Pajak dengan landasan sebagai perjanjian ini telah menimbulkan ketidakadlilan dalam masyarakat, dimana hanya pembayar-pembayar pajak besar saja yang akan mendapat perhatian pemerintah. 

B.   Landasan teori pajak menurut syariat
Kewajiban utama atas harta adalah zakat, maka landasan teori pajak harus mengacu dengan zakat. Dengan demikian, tentu dua kewajiban itu tidak boleh berada pada posisi yang sama berat dan besarnya, melainkan satu dengan yang lain merupakan pelengkap. Konsekuensinya, pajak bisaditunaikan setelah zakat dikeluarkan.
Menurut qhardawi, asass teori wajab zakat adalah sebagai berikut:
1.      Teori beban umum
Teori ini didasarkan bahwa merupakan hak allah sebagai pemberi nikmat untuk membebankan kepada hambanya apa aja yang dikehendakinya, baik kewajiban badani maupun harta, untuk melaksanakan kewajiban dan tanda syukur atas nikmatnya.
2.      Teori khilafah
Teori pajak kedua ialah bahwa harta itu adalah amanah allah. Asas teori ini berpegang pada keyakinan bahwa semua harta adalah kepunyaan allah swt dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah atas harta itu. Maka tak heran setelah manusia memperoleh nikmat itu, sebagai hamba allah ia harus mengeluakan sebagian rezekinya itu untuk tujuan di jalan allah.
3.      Teori pembelaan antara pribadi dan masyarakat
Diantara hak masyarakat terhadap negaranya yang membimbing dan mengurus kepentingannya ialah setiap anggota masyarakat yang punya kewajiban menyerahkan sebagian hartanya, yang akn digunakan untuk memelihara kelangsungan hidupnya, memberantas segala bentuk kejahatan dan permusuhan serta segala sesuatu untuk kebaikan masyarakat seluruhnya.
4.      Teori persaudaraan
Persaudaraan itu cirri hubungan antara sesame manusia, maka persaudaraan itu menghendaki adanya bukti punya tuntutan-tuntutan. Di antara tuntutannya ialah janganlah manusia hidup senang sendiri, tidaklah berhak untuk hidup di dunia ini. Untuk saling menjamin dan bantu- membantu antara satu sama lain ketiak umat islam ditimpa suatu musibah.

C.   Tujuan penggunaan pajak menurut syariat
Tujuan pajak itu adalah untuk membiayai berbagai pos pengeluaran Negara, yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kodisi Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi. Jadi ada tujuan yang mengikat dari dibolehkannya memungut pajak itu, yaitu pengeluaran yang memang sudah menjadi kewajiban kaum muslimin, dan adanya suatu kondisi kekosongan kas Negara. Menurut Zallum,ada 6 jenis pengeluaran yang bias dibiayai oleh pajak antara lain pembiayaan jihad, pembiayaan untuk pengadaan dan pengembangan industrimiliter,pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir,miskin dan ibnu sabil, pembiayaan untuk gaji pegawai Negara, untuk kemaslahatan atau fasilitas umum serta untuk penanggulanganbencana.


BAB X
HUBUNGAN ZAKAT DENGAN PAJAK
A.   Tidak ada pajak sekuler dalam islam
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan tidak mengenal pemisahan penrimaan religius dan penerimaan sekuler. Oleh sebab itu, sangatlah tidak tepat pendapat yang dikemukakan oleh Nicholas p. aghnides dalam karyanya muammaden theories of finance, yang mengatakan bahwa ada pemisahan istilah antara keduanya.

B.   Empat pendapat tentang hubungan zakat dan pajak
Ada empat pendapat yang berbeda tentang bagaimana hubungan zakat antara lain: pertama, zakat dan pajak adalah dua kewajiban sekaligus terhadap agama dan Negara. Kedua, zakat adalah kewajiban terhadap agama, dan pajak adalah kewajiban terhadap Negara. Ketiga, zakat adalah roh dan pajak adalah badannya. Keempat, Pajak tidak wajib bahkan haram.

C.   Peraturan terkait tentang zakat dan pajak
Zakat sudah masuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama sejak diundangkannya UU nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang sekaligus mengawali babak baru dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Terkait zakat dan pajak , terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengikat, antara lain UUD 1945, Bab VIII Hal keungan, pasal 23A, menyatakan bahwa ‘’pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU’’.

D.   Ketentuan perpajakan tentang zakat
1.      Zakat bukan objek pajak
Menurut UU No. 36 Tahun 2008 Tentang PPh, pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa,’’objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai  untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun’’.


2.      Zakat bukan termasuk biaya yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan bruto
Zakat tidak termasuk dalam kelompok jenis biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan untuk dikurangkan dari penghasialn bruto wajib pajak.
3.      Zakat adalah pengurang penghasilan kena pajak
Zakat dalah pengurang penghasilan kena pajak, tapi bukan pengurang pajak terutang , banyak kalangan memahami bahwa zakat dapat dijadikan pengurang pajak terutang, padahal bukan demikian.

E.   Ketentuan kredit pajak dalam perarturan perpajakan kredit
Wacana untuk menjadikan zakat sebagai pengurang pajak telah bergulir ke DPR, melalui usulan berbagai ormas islam.
1.      Definisi kredit pajak
Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pada pasal 1 angka 22 . pada pasal ini twelah menutup peluang peluang zakat untuk menjadi pengurang pajak, karena definisi kredit pajak pada pasal ini disebutkan adalah pajak itu sendiri.
2.      Jenis kredit pajak
Berdasarkan peraturan direktur jenderal pajak Nomor 34/PJ/2009 tentang surat pemberitahuan tahunan PPh WP orang pribadi disebutkan bahwa kredit pajak terdiri dari kelompok kredit pajak yang berasal dari PPh yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain atas penghasilan yang tidak bersifat final serta kelompok kredit pajak yang berasal pembayaran/angsuran sendiri.

F.    Dampak pengaruh zakat(hanya) sebagai pengurang penghasilan kena pajak
1.      Zakat disamakan dengan sumbangan sosial keagamaan
Dari formulir 1770/1770S SPT tahunan dapat kita lihat bahwa zakat saat ini dijadikan hanya sebagai pengurang penghasilan kena pajak, yang artinya zakat tidak ubahnya semacam biaya sosial seperti sumbangan kegiatan sosial, perayaan hari besar, dan sejenisnya yang dipersamakan dengan sumbangan wajib keagamaan lainnya.
2.      Penerimaan zakat tidak tumbuh secara proporsional dengan penerimaan pajak
Zakat dan pajak digali dari sumber yang sama, yaitu penghasilan. Jika penerimaan pajak meningkat, maka penerimaan zakat juga meningkat secara proporsional. Dan jika penghasilan selalu ditunaikan zakatnya maka pasti akan bertambah, dan pertambahan penghasilan akan berkorelasi positif dengan pertambahan pajak dan zakat.


3.      Masyarakat tidak termotivasi untuk melaporkan zakat yang sudah dipungut
Sungguhpun belum ada data berapa jumlah WP dan berapa jumlah penerimaan zakat dalam rupiah dari WP muslim yang melaporkan zakat sebagai pengurang penghasilan neto  direktorat jenderal pajak, namun dapat diperkirakan bahwa tidak banyak WP muslim yang melaporkan zakat yang sudah dipungut oleh BAZ/LAZ melalui surat setoran zakat dalam SPT tahunan.
4.      Terjadi inefisiensi dan inefektivitas dalam pemungutan zakat dan pajak
Zakat melalui keputusan presiden Nomor 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional, selayaknya difasilitasi dengan sarana pendukung sebagaimana halnya kementrian keuangan direktorat jenderal pajak.

G.  Alasan-alasan fiskal mengapa zakat dapat dijadikan sebagai kredit pajak
1.      Zakat sebagai pengurang(kredit) pajak disamakan statusnya dengan pajak terutang diluar negeri(pasal 24 uu PPh)
Pada formulir 1770 SPT tahunan PPh dapat kita lihat bahwa kredit pajak pada angka 12 adalah pajak terutang diluar negeri, yaitu pajak yang sudah disetor oleh WP diluar negeri . pajak disetor di luar negeri dalam hal ini diakui sebagai kredit pajak.
2.      Zakat sebagai kredit pajak disamakan statusnya seperti fiskal luar negeri
Pada formulir 1770 SPT tahunan PPh dapat kita lihat bahwa kredit pajak pada angka 14.C adalah fiskal luar negeri yang dibayar oleh WP ketika pergi keluar negeri, baik melaui darat,laut maupun udara.
3.      Studi banding zakat sebagai kredit pajak di negara jiran Malaysia
Zakat dalam peraturan perpajakan Malaysia merupakan diskon atau pengurang terhadap pajak penghasilan yang terutang, bahkan termasuk juga zakat fitrahdan kewajiban lain yang wajib dibayar uamt islam, asalkan terdapat bukti yang dikeluarkan oleh lembaga sah yang khusus menangani tentang zakat tersebut.

H.  Alasan-alasan agama untuk menjadikan zakat sebagai kredit pajak
Ada sejumlah alasan kuat mengapa zakat harus menjadi pengarang pajak, yaitu  Subjek zakat dan pajak adalah sama, yaitu umat islam dan objek zakat dan pajak relatif sama, yaitu penghasilan.

I.      Mekanisme penerapan zakat sebagai kredit pajak
1.      Zakat sebagai pengurang pajak paling utama
Zakat ditetapkan sebagai kredit pajak karena kewajiban zakat yang harus dipenuhi lebih dahulu daripada kewajiban pajak dan supaya mengurangi beban yang harus dibayar rakyat. Zakat bila diletakkan setelah kredit pajak yang lain berarti kewajiban pajak mendahului kewajiban zakat dan menyebabkan kesulitan menentukan bagian kredit  pajak mana yang tidak boleh dikembalikan karena didalamnya terdapat unsur zakat padahal dinyatakan sebelumnya bahwa zakat adalah penyisihan harta untuk memenuhi perintah Allah Swt.
2.      Zakat sebagai pengurang pajak memiliki syarat tertentu
Zakat tidak begitu saja dijadikan sebagai kredit pajak, ada syarat yang harus dipenuhi agar zakat bisadijadikan sebagai kredit pajak diantaranya adalah memenuhi syarat zakat menurut peraturan dalam agama islam dan memenuhi syarat yang ada dalam peraturan perpajakan.

J.     Kendala-kendala penerapan zakat sebagai kredit pajak
Zakat hanya bisa menjadi pengurang laba/penghasilan sisa kena pajak. Penafsiran autentik dari peraturan tersebut menyatakan bahwa zakat hanya bias dikurangkan sebagai pengurang  laba/ penghasilan kena pajak saja tidak bias dijadikan sebagai pengurang pajak penghasilan.

K.  Dampak penerapan zakat sebagai kredit pajak dan solusinya
Menetapkan pajak sebagai penerimaan negara bukan pajak  akan memberi kepastian yang lebih besar pada masyarakat, karena termasuk sebagai penerimaan negara, yang dapat dipantau, diawasi dan diketahui jumlah penerimaan serat distribusi penggunaannya sebagaimana halnya dengan pajak.

L.   Persamaan dan perbedaan zakat dengan pajak
Disebakbakn pajak adalah kewajiban tambahan, maka jumlah yang dipungut harus diperhitungkan dengan zakat. Kaum muslim tidak boleh diberati dengan kewajiban berganda.zakat yang sudah dipungut, harus dijadikan sebagai pengurang langsung, sehingga pajak yang harus dibayar kaum muslim hanya tambahan saja.

M. Zakat seharusnya dibayar lebih dahulu sebelum pajak
Pajak boleh saja dianggap utang seseorang kepada negara, sehingga harus dibayarkan sebelum zakat dikeluarkan, tetapi yang terbaik adalah zakat dahulu dibayarkan baru kemudian pajak.















BAB XI
PAJAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
A.   Tiga jenis pajak terbesar di Indonesia
Kalau dilihat APBN tahun 2008-2010, berdasarkan urutan besarnya penerimaan, terdapat tiga jenis objek pajak terbesar, yaitu penghasilan, pertambahan nilai barang, jasa dan penjualan atas barang mewah dan bumi dan bangunan.

B.   Pajak penghasilan menurut undang-undang
Subjek pajak penghasilan yaitu orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak,  badan dan bentuk usaha tetap. Sedangkan objek pajak misalnyapenggantian atau imbalan, hadiah, laba usaha, keuntungan, dan lain-lain.

C.   Pajak penghasilan menurut syariah
Meskipun ada kelemahan dalam tata cara pemungutannya, namun PPh tetap boleh dipungut, karena sudah memenuhi tiga syarat pembolehan sebuah pendapatan negara, yaitu ada nash al-qur’an yang memerintahkan, dikenakan hanya kepada orang kaya serta adanya tuntutan kemaslahatan umum.

D.   Pajak pertambahan nilai menurut undang-undang
Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang menerima /memanfaatkan/mengimpor/mengekspor barang kena pajak atau jasa kena pajak tertentu yang ditetapkan dengan UU serta peraturan pemerintah. PPN disebut juga pajak objektif, karena hanya melihat ada atau tidak objek pajaknya, tidak melihat subjeknya siapa, apakah orang kaya atau miskin,muslim atau non-muslim. Permasalahanyang timbul dalam sistem PPn adalah apabila dilihat dari keadilan distribusi  beban pajak. Pengenaan tarif pajak yang sama untuk setiap jenis komoditas menyebabkan golongan masyarakat berpendapatan rendah karena proporsi beban pajak yang sama atau justru lebih tinggi dibandingkan dengan golongan berpendapatan tinggi.

E.   Pajak pertambahan nilai menurut syariah
PPn tidak memenuhi syarat sebagai sebuah pendapatan negara yang dapat dibebankan kepada rakyat, karena tidak adanya nasha baik Al-Qur’an dan hadis, tidak ada pemisahan kewajiban muslim dan non muslim, dan dikenakan juga terhadap orang kaya. Ketiga hal ini tidak memenuhi ketentuan syariah.

F.    Pajak bumi dan bangunan menurut undang-undang
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh kedaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek tidak ikut menentukan besarnya pajak. Objek PP adalah bumi dan atau bangunan.

G.  Pajak bumi dan bangunan menurut syariah

Kaum muslim Indonesia tidak boleh dipungut pajak bumi dan bangunan termasuk juga non-muslim. Karena tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharajiyah.

H.  Penggunaan uang pajak di Indonesia
Pemerintah Indonesia berhasil meningkatkan penerimaan pajak dari tahun ke tahun, namun utang luar negeri yang dibayar dari pajak juga meningkat dari tahun ke tahun. Dan separuh dari uang pajak yang dikumpukan kantor pajak digunakan untuk membayar utang, dan sisanya untuk membayar gaji pegawai termasuk tentara,subsidi BBM, dan belanja pemerintah.

I.      Tujuan penggunaan uang pajak menurut syariah
1.      Pengeluaran negara karena kompensasi yang harus dibayar
Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar negara sebagai kompensasi atau hak orang-orang yang telah memberikan jasanya, lalu mereka meminta harta sebagai upah atas jasanya.
2.      Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan kompensasi apapun
Pembelanjaan kelompok ini diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah dihasilkan.
3.      Pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan
Ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin seperi paceklik,taufan, gempa bumi dan lain-lain. Hak pembelanjaannya tidak ditentukan berdasarkan adanya harta, melainkan merupakan hak paten, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak.

J.     Jenis pengeluaran yang tidak boleh dibiayai dari pajak
Pembelanjaan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun, hanya saja umat tidak sampai tertimpa penderitaan disebabkan tidak adanya pembelanjaan tersebut.Contohnya pembuatan jalan baru ketika jalan lain sudah ada.







[1] UU No. 28 tahun 2009n tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,Pasal 1 angka 64
[2] Marihoot P. Siahaan ,S.E., Pajak Daerah dan Retribusi Derah,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2005),hlm.437.
[3] Lihat,Muhammad Romli,Majalah Berita Pajak, tax ratio,Opini,Edisi,No.1536,1 April 2005 hlm,37.
[4] Daud Rasyid,Indahnya syariat Islam,jakarta:Ussamah Press,Cet.1,2003,hlm.1.
[5] Augus Hendra Simatupang,sulitnya mendefinisikan pajak,opini,berita pajak,edisi 1 agustus 2005,hlm 21.
[6] Definisi yang sama juga dinyatakan dalam UU Nomor 19 Tahun 2000 pada pasal 1 butir 1
[7] Rochmat Soemitro,Pengantar Singkat Hukum Pajak,1998,hlm 12
[8] Yahya abdurrahman
[9] Taqyuddin an-nabhani,membangun sistem ekonomi alternatif,
[10] Ada smith, An inquiryin to the nature and cause of wealth of nations dalam adiwarman a. karim
11.said saad mathoon, ekonomi islam ,ditengah krisis ekonomi global. Hlm 9
[12] Adiwarman, a. Karim , sejarah pemikiran ekonomi islam hlm 15.
[13] Muhammad nashiruddin al-albani ,shahih sunah abu daud, hlm 42 dan 44
[14] Nurul huda,instrumen fiskal di massa rasulullah,posted:fri sep 05,2003
[15] Ibnu katsir,Albidayah wa hinayah,masa khulafaurrasyidin,cet 1,2002 m hlm 200.
[16] Heri sudarsono,kosep ekonomi islam,suatu pengantar,penerbit ekonosia, kampus FE UII hlm.118

0 Response to "Ringkasan Buku Pajak Menurut Syariat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel